Header Ads

Jenderal Polisi Yang Lebih Takut Telat Sholat Dari Pada Telat Urusan Lain

Kawasan wisata Senggigi sedang meriah. Tepat di 21 September 2015, di pusat wisata salah satu icon NTB terletak di Lombok Barat itu sedang menyelenggarakan sebuah pesta sebagai service tamu tamu asing, disebut Festival Senggigi. Musik tradisi, pawai, wisatawan asing dan lokal bejibun. Benar benar meriah.

Seorang pria gelisah duduk di kursi tamu utama. Adzan Ashar sebentar lagi berkumandang, tanda tanda akan masuk waktu solat dari corong masjid nyaris tak akan terdengar karena tertutupi kemeriahan itu.

Pria tadi segera meminta orang yang selama ini melekat mendampinginya mencari sepeda motor. Ia pun menyeruak diantara keramaian, melesat menggunakan sepeda motor matic melalui jalan wisata Senggigi, kemudian berhenti di sebuah mesjid tidak jauh dari lokasi acara.

Masih lengkap dengan seragam yang menampilkan pangkat bintang satu di pundak, dia kemudian berbaur dengan para ma’mum lainnya untuk shalat Ashar berjamaah.

Kapolda NTB Brigjen Pol Drs Umar Septono, SH.,MH terpaksa naik sepeda motor demi mengejar solat ashar di awal waktu. Menggunakan mobil dinasnya mustahil saat itu, karena terjebak di keramaian, jadi sepeda motor adalah pilihan paling mungkin agar cepat sampai masjid.

Tasss…! begitu dilepas, berita itu menjadi viral dengan jutaan pembaca. Sejak saat itu Nama Umar Septono fenomenal tidak hanya sebagai Kapolda tapi sosok yang taat beribadah. Sempat ada yang berpikiran skeptis itu sebagai sebuah pencitraan demi mengkat nama baik Polri dan Polda NTB khususnya. Tapi dia tak sibuk meng-counter isu itu. Karena yang dia hanya kejar adalah penilaian dari Allah SWT. Dan ‘aksi’ meninggalkan acara sepenting apapun itu berulang kali dilakukan, keseringan saat Shalat Dzuhur.

Dalam sebuah video yang diunggah di Youtube tanggal 14 Oktober 2016, Kapolda berpidato menyampaikan bahwa shalat di awal waktu baginya adalah harga mati.

“Kegiatan sepenting apapun, sesibuk apapun harus saya hentikan. Rapat siapapun yang mimpin saya tinggalkan. Dunia saya pertaruhkan pangkat dan jabatan ini,” demikian Kapolda berujar dengan lantang.

Paling bergidik, ketika dia pernah berucap, “cita cita” hidupnya satu, yaitu adalah mati dalam sujud.

Kepindahan Umar Septono sebenarnya sempat berembus akhir 2016 lalu. Keputusan itu akhirnya turun. Ada dua ekspresi yang mungkin bisa mewakili masyarakat NTB, gembira sekaligus sedih.

Sedih karena sosok Umar Septono sudah dianggap menyatu dengan keberagaman di NTB, nyaris tanpa sekat. Gembira, karena saatnya karir pengabdiannya di korps Bhayangkaranya mendapat kepercayaan baru dari pimpinan yang akan memegang tampuk jabatan jenderal bintang dua.

Ada banyak catatan tentang sang jendral yang semua ditorehkan selama jabatan Kapolda didapuk di pundaknya. Terlalu banyak hal yang fenomenal dari tingkah laku dan kata katanya yang penuh tuah.

Sekali waktu dia menjadi orang nomor satu yang tegas karena berpegang pada prinsip, aturan di atas segalanya. Peluang pungli di penerimaan Bintara dan Perwira Polri ditutup rapat. Anggota yang bersalah dipecat, tapi mereka yang berprestasi tak segan didatanginya langsung di pelosok mana pun, kemudian diberi penghargaan.

Gayanya terkadang unik. Beberapa waktu lalu, seorang anggota yang jatuh ke jurang karena mengejar penjahat, diberinya penghargaan di jurang itu juga.

Dalam sebuah perjalanan, satu hari ia pernah menjumpai kecelakaan. Tak segan ia turun lalu menggendong korban dan membawanya ke rumah sakit dengan mobil dinasnya.

Dua anggota Bhabinkamtibmas yang menghadang mobilnya hanya karena untuk menyebrangkan seorang nenek, bukan dihukum tapi diganjarnya dengan penghargaan. Dua Bhabinkamtibmas itu dianggap benar benar menjalankan pengabdiannya kepada rakyat, bukan kepada atasannya.

Apel bersama tukang sapu untuk mencontohkan kepada anggotanya bagaimana seharusnya bersikap dalam keikhlasan bertugas menjaga amanah juga sempat menjadi fenomenal dimasa awal jabatannya di NTB.

Momen momen tak terduga, dia menjadi sosok yang “merendahkan” dirinya, membungkukkan tubuhnya ketika berhadapan dengan orang yang sudah sepuh. Pengemis, pedagang kaki lima, penyandang cacat, bagi dia jauh lebih mulia dari dirinya meski berpangkat jendral karena dalam prinsipnya, orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa dihadapan Tuhannya



from Halo Dunia Network http://ift.tt/2yv8nwK
via IFTTT

No comments

Powered by Blogger.